Pertumbuhan dan Keberlanjutan Perusahaan Swasta pada 2022 dalam Mencapai SDGs 2030


JAKARTA (KN),- Pendiri dan Ketua Yayasan AWR Foundation, Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, mengatakan, saat ini tata kelola sebuah perusahaan tumbuh dari tuntutan pertumbuhan dan keberlanjutan.
 
“Baik ditinjau dari sisi perusahaan, industri, maupun negara,” kata mahasiswi lulusan Magister Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia itu melalui WhatsApp, Selasa (23/11/2021) malam.  
 
Dikatakan, dari sisi yang lebih luas, demi kepentingan bersama dan didasari oleh semangat niat baik yang dilakukan secara sukarela yaitu dimensi penopang tata kelola perusahaan.
 
Kemudian aspek-aspek dimensi lainnya adalah kondisi khusus yang disebut Comply or Explain (patuh atau jelaskan), perusahaan diminta untuk mematuhi standar tata kelola yang tercantum dalam pedoman tata kelola.
 
“Atau jka tidak, maka perusahaan harus menjelaskan, mengapa hal ini tidak dipatuhi dengan harapan dapat dijelaskan juga kapan perusahaan dapat mulai mematuhi pedoman ini,” katanya.
 
Menurutnya, hal lain dalam dimensi penopang tata kelola adalah kontrol publik (stakeholders) karena para stakeholders memiliki kepentingan dan juga peduli pada situasi dan dampak dari kegiatan usaha perusahaan.
 
Harapan mereka adalah para pelaku usaha tidak hanya melihat target dalam waktu singkat tapi justru melihat dalam jangka panjang dan peduli pada implikasi kepada generasi penerus dan lingkungan.
 
“Indonesia selama satu tahun memegang tonggak sebagai Presidensi G20, tepatnya 1 Desember 2021 hingga 2022. Sementara sudah sampai mana capaian kinerja kita dalam upaya mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SGDs 2030),” katanya.
 
Tentu saja, ini tidak dapat dicapai tanpa kerja sama dari berbagai pihak, terutama pasca Pandemi Covid-19, private sector harus lebih banyak terlibat untuk capaian ini. Tanpa kerja sama maka capaian SDGs 2030 tidak akan tercapai.
 
“Saya rasa 2022 mendatang sektor swastalah yang harus memegang kepemimpinan pencapaian SDGs sebagai stakeholders bagi pemerintah,” imbuh Sekretaris Bidang Energi dan Lingkungan Hidup KPPG tersebut. 
 
Karena itu berarti swasta mendukung apa yang sudah diagendakan oleh pemerintah bahkan sudah di-Perpreskan nomor 59 tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
 
Perusahaan yang menerapkan CSR dipandang memiliki kepedulian kepada lingkungan sekaligus mencerminkan kepedulian terhadap stakeholdersnya (karyawan, pimpinan, masyarakat, pemerintah dan shareholdersnya).
 
Dijelaskan, managemen keberlanjutan yang mengusung konsep Triple Bottom Line atau dikenal dengan istilah 3P (People, Profit, Planet) sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
 
“Oleh karenanya penting sekali bagi perusahaan dapat memberikan keterangan seluas-luasnya kepada para stakeholdernya dalam bentuk Sustainability Report (Laporan Berkelanjutan) dan Integrated Report (Annual Report),” ujarnya.
 
Teh Tyas sapaan akrabnya menambahkan, salah satu bentuk CSR yang sering diterapkan di Indonesia adalah Community Development.
 
“Yaitu penekanan terhadap pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat setempat yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang serta PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan),” katanya.
 
Negara menaruh harapan besar kepada sektor swasta, minimalnya di sekitar unit bisnis mereka untuk meng-empower masyarakat di sekitar unit bisnisnya.
 
Maka geliat UMKM terus berkembang, terutama UMKM yang memiliki inovasi pada bisnis mereka, karena di era sekarang perusahaan rintisan justru menjelma menjadi raksasa baru dengan modal inovasi.
 
Sehingga, masih kata Tyas, para UMKM dapat beradaptasi pada masa sulit ini ke arah kemandirian yang berkelanjutan dan kesiapan menghadapi persaingan ekonomi dunia usaha.
 
Setiap produk CSR yang disalurkan kepada masyarakat dikaitkan dengan pilar-pilar pembangunan SDGs. Misalnya ada perusahaan yang memberikan sanitasi air bersih.
 
“Itu artinya sudah menjalankan pilar lingkungan pada point SDGs nomor 6 yaitu Air Bersih dan Sanitasi Layak,” katanya.
 
Kemudian perusahaan yang fokus terhadap investasi di bidang Energi Baru Terbarukan (EBT) berarti masuk pada point 7 (Energi Bersih dan Terjangkau) dan point 9 mengenai industri, inovasi dan infrastruktur pada Pilar Pembangunan Ekonomi serta point 13 (climate action) pada Pilar Pembangunan Lingkungan.
 
“Jujur saya sangat mengharapkan pada tahun 2022 seluruh private sector bergabung. Misalnya membuat Jakarta SDGs Forum, Jawa Barat SDGs Forum dan lainnya di setiap provinsi,” harapnya.
 
Pelaksanaannya agar masyarakat luas terutama generasi Z dan millennial sadar dan teredukasi dengan adanya forum SDGs tersebut.
 
“Pemerintah juga bisa melihat sejauh mana efek Perpres yang sudah dibuat agar dilaksanakan di berbagai sektor untuk mencapai SDGs 2030,” pungkasnya.
 
Pewarta : deha

Diberdayakan oleh Blogger.