Pilpres 2024 Seyogyanya Dilaksanakan Setelah Pileg, Ini Alasannya




KUNINGAN,- Anggota FPKB Komisi II DPR RI yang merupakan Ketua Partai Kebangkitan Bangsa, Yanuar Prihatin, mengatakan, alasan Pilpres 2024 seyogyanya dilaksanakan setelah pileg.

 

Hal itu dikatakan dalam siaran persnya melalui WhatsApp kepada redaksi kamangkaranews.com, Kuningan, Kamis (28/1/2021).

 

Ia menjelaskan, jika presidential threshold masih digunakan pada pemilu 2024, maka pelaksanaan pemilihan presiden/wakil presiden (pilpres) seyogyanya dilakukan setelah pemilu legislatif (pileg) usai.

 

Sehingga setiap partai politik sudah mengetahui perolehan suara dan kursi di DPR yang ditetapkan KPU.

 

“Dengan demikian, ambang batas perolehan suara dan kursi yang diperoleh partai politik untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden bersumber dari hasil pemilu legislatif yang terbaru, bukan hasil pemilu 2019,” katanya.

 

Menurut Yanuar, alasannya bersifat fundamental, hasil pemilu 2019 itu sudah usang dan tidak bisa dijadikan dasar untuk memastikan bahwa hasil pemilu legislatif 2024 akan sama persis dengan pemilu 2019.

 

Bisa saja terjadi hal tidak terduga, jika hasil pemilu 2019 dijadikan dasar untuk presidential threshold.

 

“Lantas bagaimana jika partai pengusungnya anjlok kursinya di DPR dalam pemilu 2024, sementara calon presiden/wakil presiden yang diusungnya terpilih sebagai pemenang?,” tanya dia.

 

Tentu ini akan mengganggu system presidensial yang dianut karena dukungan presiden di parlemen menjadi terbatas.

 

“Harus juga diingat bahwa kita harus memberikan perlakuan yang adil kepada semua partai politik yang menjadi peserta pemilu legislatif,” ucap anggota legislatif Dapil Jabar 10 (Kuningan, Ciamis, Banjar, Pangandaran).

 

Apabila presidential threshold bersumber pada hasil pemilu legislatif 2024, maka semua partai politik mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden.

 

Mereka harus berjuang keras memperoleh kursi sebanyak-banyaknya dalam pemilu legislatif jika hendak menjadi pengusung kandidat presiden/wakil presiden.

 

Namun jika presidential threshold bersumber pada pemilu 2019, maka kesempatan mengajukan calon presiden/wakil presiden hanya dimiliki oleh partai besar.

 

“Apalagi partai politik baru, otomatis tak berpeluang memiliki kandidat presiden. Padahal tidak ada jaminan partai besar ini akan memperoleh kursi yang banyak pula pada pemilu 2024,” katanya.

 

Pola yang sama, masih kata Yanuar, semestinya berlaku pula untuk pelaksanaan pilkada. Calon gubernur/bupati/walikota diajukan oleh partai politik yang memenuhi syarat berdasarkan hasil pemilu legislatif paling terbaru.

 

"Pilkada dilaksanakan setelah pemilu legislatif usai dan hasilnya sudah ditetapkan KPU," katanya.


RUU Pemilu yang tengah dibahas di DPR saat ini perlu mendesign ulang pola keserentakan pemilu yang akan dipilih.

 

Pemilu legislatif seharusnya tidak dicampur dengan pemilu eksekutif secara bersamaan. Pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota berjalan serentak lebih awal, baru kemudian disusul Pilpres dan Pilkada.

 

“Khusus untuk Pilkada, design keserentakannya harus diharmonisasi ulang dengan jadwal Pilkada yang sudah ada agar problem-problem teknis dan kekosongan jabatan kepala daerah bisa diatasi dengan tepat,” pungkasnya.

 

deha 

Diberdayakan oleh Blogger.