Menyikapi Putusan PN Jakarta Pusat tentang Penundaan Pemilu 2024



Oleh : Dr. H. Yanuar Prihatin, M.Si


Apakah bisa dibenarkan putusan pengadilan negeri melampaui kewenangan undang-undang?. Aturan tentang penyelenggaraan pemilu, bahkan penundaan pemilu adalah domain undang-undang dan kewenangan untuk membuat undang-undang ini dipegang oleh DPR dan Pemerintah.


Putusan pengadilan negeri ini agak aneh, janggal dan tidak lazim. Pengadilan negeri telah bertindak melampaui batas kewenangannya dan terkesan sangat dipaksakan. Jika pengadilan paham hukum pemilu, maka gugatan Partai Prima semestinya ditolak.


Coba saja bayangkan, Partai Prima dirugikan karena tidak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024. Tapi tuntutannya malah meminta penundaan tahapan pemilu, yang berakibat pada penundaan pemilu hingga Juli 2025.


Logikanya yang dituntut mestinya soal pembatalan keputusan KPU yang tidak meloloskan Partai Prima sebagai peserta pemilu. Lebih aneh lagi, pengadilan menerima dan mengabulkan tuntutan ini.


Ini bukan saja mengacaukan sistem pengambilan keputusan soal yang berkaitan dengan seluk beluk pemilu. Tetapi juga makin membuat keadaan lebih tidak terkendali. Seakan tidak ada lagi kepastian hukum dan hubungan kewenangan antar institusi di negara ini. Semua lembaga bisa semau-maunya bikin putusan.


Sengketa tentang verifikasi parpol jalur penyelesaian ada pada Bawaslu. Dan yang berkaitan dengan etika diselesaikan melalui Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Tak ada satupun perintah dalam undang-undang yang memberi kewenangan kepada pengadilan negeri untuk memutus perkara perselisihan verifikasi partai politik.


Suasana kacau ini makin membenarkan asumsi publik bahwa masih saja ada kekuatan yang menghendaki Pemilu 2024 ditunda. Kekuatan ini tak berhenti untuk mencari celah penundaan Pemilu 2024.


Setelah MK dilibatkan, kini pengadilan diajak juga ikut serta dalam persekongkolan, pintu masuknya lewat parpol yang tidak lolos verifikasi. Tidak tahu, nanti siapa lagi yang akan "dipaksa" masuk dalam korporasi penundaan pemilu ini.


"Kejahatan hukum" ini juga telah membuat DPR RI kehilangan kendali atas kewenangannya. Ini semacam proses alienasi lembaga legislatif untuk tidak ikut campur dalam urusan ini. Parpol koalisi pemerintah juga dibikin tak berkutik menghadapi sepak terjang para "penjahat hukum" ini.


*) Penulis : Wakil Ketua Komisi II DPR RI F-PKB.

Diberdayakan oleh Blogger.