Melegalisasi Sistem Proporsional Tertutup, Yanuar Prihatin : Ini Musibah dan Konspirasi Demokrasi




KUNINGAN (KN),- Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Yanuar Prihatin, mengatakan, ada gejala aneh di tengah persiapan Pemilu 2024, tiba-tiba ada orang yang mempersoalkan sistem pemilu proporsional terbuka harus diganti menjadi proporsional tertutup.

"Tidak tanggung-tanggung, usul ini dimajukan melalui Judicial Review di Mahkamah Konstitusi," kata Yanuar, sebagaimana dalam siaran persnya kepada kamangkaranews.com melalui whatsapp, Selasa (3/1/2024) malam.

Lebih lanjut dikatakan, semua orang masih ingat, sistem proporsional tertutup digunakan sepanjang pemilu zaman Orde Baru. 

Lalu apa yang terjadi?, rakyat tidak kenal calon yang akan mewakilinya, di TPS para pemilih seperti membeli kucing dalam karung, kedaulatan pemilih dikubur oleh kedaulatan partai dan kegairahan politik hanya milik segelintir pengurus partai. 

Pada saat itu jangan harap muncul partisipasi politik rakyat dalam skala massif, yang ada adalah mobilisasi untuk arak-arakan di jalan raya. Rakyat mungkin debat soal mana partai politik yang akan dipilih, tetapi mereka tidak tahu siapa orang yang akan membantu memperbaiki nasibnya esok.

Hubungan rakyat dengan pemilih sangat jauh karena anggota legislatif, sebagai jembatan mereka, tak ada yang bisa mereka kenal dekat.

Dan jangan lupa, imbuhnya, sistem proporsional tertutup di masa lalu telah menghasilkan oligarki di dalam partai. Tertutupnya kompetisi antara sesama kader. Juga melahirkan para politisi yang lebih mengakar ke atas daripada ke bawah. 

Bagi partai politik yang punya tradisi komando yang kuat dan sedikit otoriter, sistem ini lebih disukai. Bahkan bagi kader partai politik yang berjiwa oportunis, elitis dan tidak mampu berkomunikasi dengan publik, sistem proporsional tertutup adalah peluang terbesar bagi karir pribadinya.

"Lho, masa iya sih sistem pemilu seperti itu masih mau dipertahankan?. Justru karena kita semua memahami bahwa ada salah arah, maka akhirnya sistem proporsional terbuka dijadikan kesepakatan bersama sejak Pemilu 2009," katanya.

Ia pun mengakui ada over dosis dengan sistem pemilu proporsional terbuka dalam pelaksanaannya, seperti menguatnya pragmatisme caleg dan pemilih, biaya mahal, politik uang marak dan muncul tokoh-tokoh baru non kader partai. 

Selain itu pula, kerumitan dalam pemungutan dan penghitungan suara, kompetisi yang tidak sehat bahkan diantara sesama caleg partai, hingga terabaikannya kualitas caleg yang terpilih.

Namun semua itu haruslah dipahami sebagai proses belajar demokrasi yang sedang berjalan. Pada akhirnya semua pihak akan menemukan titik keseimbangan yang alami untuk bersama-sama mengerem laju pertumbuhan negatif dari demokrasi. 

"Jika mobil direm secara paksa dan mendadak pastilah menimbulkan kegoncangan bagi para penumpangnya. Bahkan bisa timbulkan kecelakaan yang fatal," katanya.

Boleh juga disebut, mereka yang ingin mengembalikan sistem pemilu ke arah tertutup sama saja dengan pembawa musibah dan kecelakaan. Apalagi jika Mahkamah Konstitusi turut melegalisasi sistem tertutup ini, maka berarti Mahkamah Konstitusi sudah terjebak dalam konspirasi ini.

"Janganlah main-main dengan soal yang satu ini. Kita semua sudah berinvestasi besar untuk menumbuhkan kegairahan dan partisipasi politik rakyat, memperkuat hubungan timbal balik antara rakyat dan wakilnya serta membangun budaya kompetisi yang masih terukur," ucapnya.

Menurutnya, oligarki politik relatif mendapatkan hambatan untuk tumbuh melalui sistem proporsional terbuka. Sistem ini juga telah memberi peluang kepada segenap warga negara untuk berkarir dalam politik, apapun latar belakangnya. 

"Hak asasi atas karir pribadi ini juga harus dijamin oleh partai politik, tidak boleh dirampas atas nama kaderisasi belaka. Bila ada kader yang kurang loyal kepada partainya, itu urusan internal partai untuk memperbaikinya, jangan sistem pemilu yang dijadikan sasaran kesalahan," pungkasnya.

Pewarta : deha.
Diberdayakan oleh Blogger.