Presiden Joko Widodo : 80 Persen Aktifitas Duta Besar untuk Diplomasi Ekonomi




JAKARTA (KN),- Presiden Jokop Widodo ingin agar para duta besar mencurahkan 70-80 persen dari aktivitasnya untuk diplomasi ekonomi. Sedangkan sisanya untuk kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan pariwisata, diplomasi perdamaian dan diplomasi kedaulatan.

“Tujuan besar dari diplomasi ekonomi dengan menjadikan duta besar sebagai duta ekspor adalah untuk membangun kepercayaan dari negara-negara lain,” katanya ketika membuka Rapat Kerja (Raker) Kepala Perwakilan Republik Indonesia dengan Kementerian Luar Negeri yang dihadiri oleh 131 Kepala Perwakilan dan Eselon I Kementerian Luar Negeri, di Istana Negara, Jakarta, Kamis (9/1/2020).

Menurut Presiden, saat ini kualitas produk-produk Indonesia sudah lebih kompetitif dibandingkan dengan produk-produk dari Tiongkok. Sehingga, Presiden mengatakan, Indonesia tidak perlu takut jika harus berkompetisi dengan produk-produk mereka di pasar global.

"Tadi saya sampaikan diplomasi ekonomi ini menempati 70-80 persen apa yang harus kita pikirkan dan kita curahkan. Karena ke depan, yang ingin kita bangun itu kepercayaan, itu yang ingin kita bangun," jelasnya.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mampu stabil berada di atas 5 persen dalam lima tahun terakhir bisa menjadi modal bagi para duta besar untuk mempromosikan Indonesia. Tak hanya itu, inflasi yang terkontrol dan bahkan bisa turun dari 9 persen hingga sekarang di posisi 3 persen, juga menjadi modal yang besar.

"Dua ini menjadi modal besar kita. Kenapa investasi negara lain menengok kita? Karena dua hal ini. Dan mungkin angka-angka yang lainnya, angka kemiskinan, gini ratio. Tapi dua hal itu jangan kita enggak bisa bercerita mengenai turunnya inflasi, stabilitas growth yang kita miliki. Sering kita tidak tahu modal besar yang kita pakai dalam membangun trust negara kita," ungkapnya.

Kepala Negara meminta agar para duta besar juga mampu melihat dan menginformasikan inovasi yang ada di negara tempatnya bertugas. Dengan demikian, Indonesia bisa mempelajari inovasi tersebut, tidak memulai dari nol, untuk kemudian dikembangkan dan diterapkan.

"Kalau kita memulai dari basic-nya ya enggak akan ketemu sampai kapan pun. Karena kita ingin amati, pelajari, kembangkan, dan langsung terapkan. Inilah yang kita perlukan. Jadi kalau ada inovasi di sebuah negara, misalnya di Amerika ada sesuatu yang baru mengenai AI (Artificial Intelligence). AI kita belajar belum rampung sudah keluar yang baru lagi. Barang baru ini apa? Informasikan," jelasnya.

Oleh sebab itu, para duta besar harus terus mencari peluang-peluang, membuka jejaring seluas mungkin, mengenali karakter-karakter pasar, memetakan peluang-peluang itu, dan menginformasikan ke kementerian.

Di samping itu, Presiden juga meminta Menteri Luar Negeri untuk membuat Key Performance Indicator (KPI) yang jelas dan terukur, yang berprestasi dan  tidak, yang harus diganti atau tidak itu harus jelas.

“Nanti kalau enggak, kita business as usual saja, enggak akan negara ini maju kalau kita seperti itu. Ada evaluasinya, mana yang kita koreksi, mana yang harus kita perbaiki, baik di sisi dalam negeri, kementerian-kementerian, maupun duta besarnya. Saya kira kalau kita bekerja dengan cara-cara KPI yang jelas, semuanya akan termotivasi dan terdorong untuk bekerja secara sungguh-sungguh," tandasnya.

Sumber : Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.

Diberdayakan oleh Blogger.