Aktivis Sosial Terkejut Ada Satu Keluarga di Jakarta Meninggal Dunia karena Kelaparan




JAKARTA,- Aktivis perempuan di bidang sosial, Ayuningtyas Widari Ramdhaniar, mengaku sangat terkejut ada satu keluarga meninggal dunia karena tidak makan dan minum dalam jangka waktu lama (kelaparan).

Hal itu diungkapkan Teh Tyas, panggilan akrabnya, kepada kamangkaranews.com, melalui whatsapp, Jumat (11/11/2022).

"Sore ini saya membaca berita di detik.com dari Kapolres Metro Jakarta Barat, Kombes Pasma Royce, bahwa polisi mengungkap hasil autopsi empat orang sekeluarga yang ditemukan tewas ‘mengering’ di Perum Citra 1 Kalideres, Jakarta Barat," katanya. 

Dari hasil autopsi diduga keempat korban tewas karena mengalami dehidrasi. Kapolres mengatakan tidak ada tanda-tanda kekerasan dan keempat korban diduga tidak mendapatkan asupan makanan dan minuman yang cukup lama karena ditemukan dari otot-otot sudah mengecil.
 
"Membaca berita itu saja sudah membuat saya berpikir apakah tujuan global atau Sustainable Development Goals/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 1 (SDGs/TPB) tanpa kelaparan masih cukup jauh untuk kita capai di tahun 2030 ?," tanya dia.

Menurutnya, sejak 2015 negara-negara PBB yakin dapat mencapai semua itu pada 2030. Indonesia menjadi salah satu dari 193 negara di PBB yang berkomitmen untuk mengimplementasikan TPB/SDGs.

Pemerintah melalui Kementerian Bappenas telah menyelaraskan Tujuan Pembangunan Nasional dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. 

Keterlibatan swasta juga menjadi faktor kunci keberhasilan Tujuan Pembangunan Nasional dengan berkolaborasi antara Pemerintah dan swasta untuk capaian SDGs. 

"Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh swasta dalam pencapaian ini," ujar perempuan yang berasal dari Kabupaten Kuningan, Jawa Barat tersebut.

Misalnya dalam membangun infrastruktur secara langsung atau mengembangkan sektor manufaktur, diharapkan pertumbuhan ekonomi akan tumbuh dari sana. 

Bisa juga kerja sama pemerintah dengan swasta di hampir banyak sektor atau bidang dan ketiga swasta bisa melakukan aktivitas filantropi secara inisiatif sendiri melalui program yang dibuat sendiri dan manfaatnya dirasakan langsung untuk kesejahteraan masyarakat.
 
"Orang terdekat pada hidup kita bukan keluarga, namun tetangga. Apakah empati masyarakat sudah semakin memudar sehingga jika tetangga kita tidak terlihat maka tidak ada yang mencurigai atau berusaha cari tahu," katanya. 

Terkadang orang tidak perlu bertanya kepada tetangganya apakah mereka sudah makan atau belum, agar tidak tersinggung jika memiliki rezeki makanan atau minuman bisa dikirimkan langsung kepada tetangga tersebut.

Kemungkinan pasca pandemi covid-19 ini banyak keluarga menengah justru mengalami kesulitan yang sangat luar biasa namun mereka malu atau gengsi mengatakan hal itu kepada orang lain.

"Menurut saya disrupsi buatan manusia salah satunya adalah empati, bagaimana manusia mengabaikan dan bertindak egois dalam pembangunan yang menyebabkan orang terdekat kita meninggal dunia karena kelaparan," katanya.
 
Ia menyebutkan, saat ini planet bumi dihuni oleh lebih dari tujuh miliar manusia dan diperkirakan pada 2030 hingga 2050 ada lebih dari sembilan miliar dan tentunya mereka semua harus makan.

Faktor yang mempengaruhi situasi saat ini karena negara, sektor, modal, aset, kapasitas semua terdisintegrasi secara struktural. Sedangkan  bumi dan lingkungan semuanya semakin terhubung (gradually interconnected).

Selain itu pula, manusia lebih mengutamakan kesejahteraan pribadi dibandingkan kepentingan bersama (common interest) padahal manusia hidup saling membutuhkan, baik kehidupan sosial, berbangsa dan bernegara dengan adanya pembangunan yang seharusnya lebih adil.

Dengan demikian, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan menjadi sarana yang harus digunakan dalam upaya kemajuan bersama untuk keadilan.
 
"Sebagai sebuah kesepakatan global, tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) bukan hanya menjadi tugas Pemerintah, tetapi menjadi tujuan bersama bagi swasta, pengusaha, komunitas, hingga anda dan saya," pungkasnya.

Pewarta : deha
Diberdayakan oleh Blogger.