Boomerang, Keputusan “Lockdown” Kota Tegal Dianggap Abuse of Power dan Inkonstitusional ?



Oleh : Unggul Basoeky, SH, M.Kn


SETIAP pemimpin dituntut dapat memutuskan setiap keputusan yang dapat memberikan kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat, “The Greatest Happiness of the Greatest Number”. Adagium tersebut salah satu ukuran ideal benar atau salah terhadap setiap keputusan dari pemimpin.

Namun sayangnya, sebagai pemimpin Kota Tegal, Dedy Yon justru siap untuk dibenci sebagai konsekuensi pilihan keputusan yang berpotensi merugikan hak-hak warga masyarakatnya.

Tentu bukan tanpa alasan, Dedy Yon sebagai Walikota Tegal memilih “local lockdown” karena menurutnya dengan melockdown adalah cara yang paling tepat untuk melindungi masyarakat dari  penyakit dan mencegah angka penularan wabah virus korona. Namun, Tepatkah keputusan tersebut atau justru keputusan lockdown termasuk melampaui wewenang (abuse of power) dan inkonstitusional ?

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara Hukum (rechtstaat) bukan Negara Kekuasaan (machstaat) maka setiap penyelenggaraan kekuasaan baik oleh pemerintah pusat atau daerah haruslah berdasarkan ketentuan hukum.

Pasal 18 ayat (2) dan (5) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan Pemerintahan menurut Asas Otonomi dan Tugas Pembantuan dan diberikan otonomi yang seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

Tujuan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan ,dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Batasan klasifikasi urusan pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 9 ayat (3) dan (4) UU No. 23/2014 bahwa pemerintahan daerah hanya diberikan kewenangan menjalankan urusan pemerintahan konkuren yaitu urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota.

Selanjutnya Pasal 11 dan 12 UU No. 23/2014 menyatakan bahwa Urusan pemerintahan konkuren terdiri dari urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar dan tidak berkaitan dengan Pelayanan dasar. Yang antara lain termasuk kesehatan dan perlindungan masyarakat. Kemudian, dalam setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren, tunduk dalam Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

Dengan demikian sangat jelas bahwa pembatasan dan perintah pembagian kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang dimiliki oleh pemerintah daerah harus selalu terjalin koordinasi/sinergi antar masing-masing pemerintahan baik pusat maupun daerah.

Dalam konteks terjadi wabah penyakit yang menuntut skala prioritas pilihan kebijakan setiap pemerintahan, maka sebagai norma hukum khusus (lex spesialist) yang mengatur adalah UU No. 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular jo UU No. 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Memang, nomenklatur “Lockdown” tidaklah diatur yang ada hanya nomenklatur “Kekarantinaan Kesehatan” dalam ketentuan literature hukum kita. Namun, baik lockdown maupun “kekarantinaan kesehatan “ substansinya adalah sama yaitu upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau factor kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.

Dalam situasi darurat ini, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab membuat kebijakan dan regulasi secara cepat,tepat,komprehensif, terkoordinasi yang didukung sumber daya, peran masyarakat dan kerjasama internasional guna melindungi masyarakat dan mencegah dan menangkal penyakit yang bepotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan Masyarakat.

Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No. 6/2018 mengatur bahwa penyelenggaraan lockdown/kekarantinaan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknik operasional, dengan mempertimbangkan keamanan, ekonomi, sosial dan budaya. Mendasari pasal a quo maka jelas bahwa satu-satunya kewenangan yang diberikan undang-undang untuk melaksanakan Lockdown adalah Pemerintah Pusat.

Sampai saat ini kebijakan pemerintah pusat dalam mensikapi pandemic Korona adalah pembatasan sosial melalui “Physical Distancing atau Social Distancing” bukan Lock down, hal tersebut jelas dipilih pemerintah pusat mengingat minimnya sumber daya manusia, dan berbagai pertimbangan ekonomi, sosial budaya yang tidak mendukung untuk dilaksanakan Lockdown.

Akan tetapi, justru kebijakan Pemerintah Daerah Kota Tegal inkonsisten dengan pemerintah pusat dan bahkan cenderung melampaui wewenangnya (abuse of power). Dapat dikatakan bahwa Keputusan local lockdown Kota Tegal bertentangan dengan Pasal 19 ayat (2) UU No. 6/2018 yang mengatur bahwa karantina wilayah harus didasarkan pada pertimbangan epistemologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.

Keputusan Lockdown dapat menjadi boomerang bagi Wali Kota Tegal mengingat menurut Pasal 17 UU No. 30/2014 mengatur bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, yang meliputi larangan melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang, dan/atau bertindak sewenang-wenang.

Paling berat, konsekuensi hukum abuse of power dari kebijakan tersebut dapat digolongkan suatu kesalahan administrative yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Artinya, jerat sanksi administrasi dan pidana dapat dikenakan.

Konstitusi mengamanatkan perlindungan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, 28B, 28D ayat (1), 28G, 28H ayat (1) dan (2), 28I, 28J UUD 1945. Hak asasi tersebut adalah hak-hak yang bersifat absolut (Non derogable right ) yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara walau dalam keadaan darurat sekalipun.

Ketentuan tersebut adalah hasil kesepakatan dalam International Covenan on Civil and Political Right (ICCPR) yang telah diratifikasi ke dalam UU No. 29/2009 tentang HAM. Bahkan Konstitusi menjamin dalam Pasal 33 UUD 1945 bahwa perekonomian dan cabang-cabang produksi yang dikuasai negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam release penyataan local lockdown, pernyataan Wali Kota Tegal dianggap inkonstitusional karena abai terhadap pemenuhan-pemenuhan hak-hak konstitusi warga masyarakatnya dan terkesan tidak mempertimbangkannya. Hal tersebut dikarenakan tidak dibarengi dengan kebijakan kongkrit sebagai jaminan dan distribusi kebutuhan hidup dasar warga masyarakatnya.

Sangat disayangkan mengingat semestinya setiap keputusan pemimpin haruslah komprehensif dengan berbagai pertimbangan baik poleksosbudhankam dan peraturan perundang-undangan bukan sekedar keputusan pribadi yang bersifat kontroversi. Semoga Walikota Tegal lebih mempertimbangkan kembali setiap keputusannya sehingga tidak menjadi suatu blunder yang justru merugikan dan mengancam karir politiknya ke depan.

Salam Takzim,
*) Penulis adalah lawyer dan akademisi di Kota Tegal.

Diberdayakan oleh Blogger.