Golkar Harus Wujudkan Demokratisasi Tata Kelola dan Mengakhiri Kepemimpinan Intimidatif




Oleh : Bambang Soesatyo

SEMUA kader dan elemen Partai Golkar harus bertekad dan berani mengakhiri model kepemimpinan intimidatif. Demi masa depan yang lebih baik, Golkar harus mewujudkan demokratisasi tata kelola partai. 

Karut marut pengelolaan partai Golkar tampak telanjang ketika semua elemen partai bersiap menyongsong pelaksanaan musyawarah nasional (Munas) tahun 2019 ini.  Benar-benar sarat friksi dan semuanya sudah menjadi pengetahuan publik karena diberitakan oleh pers. 

Retak dalam tubuh Partai Golkar selalu bermuara pada perilaku kepemimpinan intimidatif yang ternyata belum bisa dieliminasi oleh Partai Golkar. Dalam konteks demokratisasi tata kelola partai, Golkar praktis stagnan. 

Dan, kalau dihadapkan pada perubahan dan kemajuan zaman, Golkar lebih tepat disebut terus melangkah mundur. Partai ini selalu dicengkram oleh kepemimpinan intimidatif yang menjadi potensi kegagalan demokratisasi tata kelola. 

Menuju  Munas Partai Golkar pada 3 – 6 Desember 2019 di Jakarta, ada beberapa catatan penting yang patut digarisbawahi para kader. Pertama, baik sekarang maupun nantinya, Golkar tidak boleh menjadi faktor penghambat konsolidasi demokrasi Indonesia. 

Kedua, agar mampu menjadi penggerak demokrasi, Golkar harus menuntaskan demokratisasi tata kelola partai. Dan, agar demokratisasi tata kelola itu bisa berjalan, kepemimpinan intimidatif di tubuh partai harus segera dieliminasi. 

Ketiga, Golkar tidak boleh memberi beban atau masalah kepada pemerintah. Jika pasca Munas Partai Golkar masih pecah lagi, sama artinya itu memberi masalah kepada pemerintah. 

Sebab, pemerintah pada akhirnya hanya bisa mengakui satu DPP Partai Golkar. Tidak mungkin pemerintah atau Presiden dipaksa harus mendengarkan dua DPP Partai Golkar. 

Pesan lain yang tak kalah pentingnya adalah keharusan Golkar dan Parpol lainnya untuk segera beradaptasi dengan perubahan zaman. Golkar harus ‘berdandan’ sedemikian rupa agar tampak menarik dalam pandangan generasi milenial. 

Pada waktunya nanti, Golkar pun harus memperkenalkan profilnya kepada generasi Z yang dalam beberapa tahun ke depan akan memperoleh hak memilih dan dipilih. Golkar tentu harus mencari rumusan atau strategi baru agar bisa merekrut mereka sebagai kader maupun sekadar sebagai simpatisan. 

Pendekatan kepada kedua kelompok generasi ini tak cukup hanya dengan mengandalkan propaganda atau komunikasi satu-dua arah. Gambaran tentang bagaimana tata kelola Parpol pun pasti menjadi perhatian utama kedua kelompok generasi itu. 

Kepada kedua kelompok generasi ini, Golkar harus mengawali pendekatannya dengan perbaikan citra. Bagaimana pun, rangkaian pemberitaan seputar konflik internal selama periode persiapan menuju Munas 2019 menjadi promosi yang tidak menguntungkan Golkar. Gambaran dan kesan tentang kepemimpinan intimidatif itu begitu kuat.

*) Penulis Kandidat Ketua Umum Partai Golkar 2019-2024 / Ketua MPR RI

Diberdayakan oleh Blogger.