JAKARTA (KN),- Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, menyebutkan, selain menghilangkan potensi penerimaan negara dari ekspor, ...
JAKARTA (KN),- Sekretaris Umum APNI, Meidy
Katrin Lengkey, menyebutkan, selain menghilangkan potensi penerimaan negara
dari ekspor, akan ada potensi kerugian terhadap pengusaha tambang nasional yang
sedang progres membangun 16 smelter.
“Kerugian yang ditaksir mencapai Rp 50
triliun,” sebutnya, usai diterima Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, di ruang
kerja Ketua DPR RI, Jakarta, Senin (2/9/2019).
Dijelaskan Meidy, progres pembangunan 16
smelter sudah 30 persen. Targetnya selesai pada tahun 2022 sesuai PP No. 1
Tahun 2017. Modal pembangunan tersebut salah satunya didapat dari keuntungan
mengekspor nikel.
Jika pelarangan ekspor dipercepat,
pembangunan smelter tidak bisa dilanjutkan. Akibatnya sekitar 15.000 tenaga
kerja lokal yang berada di 16 smelter bisa jadi dirumahkan.
“Tidak beroperasinya 16 smelter di tahun 2022
juga membuat negara kehilangan potensi penerimaan mencapai USD 261,273 juta
pertahun dari output produk smelter berupa NPI/FeNi," jelas Meidy.
Lebih jauh ia menuturkan, saat ini mereka
juga tak bisa menjual bijih nikel ke investor asing yang membangun smelter di
dalam negeri, lantaran selisih harga yang sangat rendah dibanding ekspor.
Sebagai gambaran, harga wet metric ton (WMT)
free on board Tongkang (lokal) bijih nikel kadar Ni 1,7 persen sebesar USD 15,
sedangkan harga free on board vessel (expor) sebesar USD 35.
Jika dijual di market domestik, APNI mengaku
rugi karena cost produksinya saja mencapai USD 16,57 WMT, diluar biaya
perizinan, pembangunan sarana, PPN dan lainnya.
Selain itu juga, imbuhnya, para investor
asing yang memiliki smelter di Indonesia menggunakan surveyor yang tidak
ditetapkan oleh pemerintah, yaitu INTERTEK.
“Padahal dalam Permen ESDM No. 26 Tahun 2018,
pemerintah tegas mengatur surveyor yang bisa digunakan antara lain Sucofindo,
Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Services, Anindya dan SCC," terang Meidy.
(*)