Penutupan Jalan Siliwangi, Eksekusi Kebijakan Tanpa Kajian



Oleh : Drs. H. Ikhsan Marzuki, M.M.


PENUTUPAN permanen jalan Siliwangi yang dilakukan Pemda Kabupaten Kuningan telah menimbulkan keresahan, khususnya di kalangan pedagang kaki lima dan pengusaha yang menyewa ruko di kawasan pertokoan Siliwangi serta masyarakat umum lainnya.


Dengan mimpi ingin menghadirkan keramaian seperti kawasan Malioboro Yogyakarta di sepanjang pertokoan jalan Siliwangi, Pemda Kabupaten Kuningan telah mengambil langkah yang dinilai banyak kalangan tidak dilakukan secara matang, tanpa ada kajian dan pembahasan dengan stakeholder yang ada.


Eksekusi Tanpa Kajian
Beberapa pertanyaan berikut akan menunjukkan bahwa Pemda tidak melakukan kajian yang matang terkait penutupan pertokoan jalan Siliwangi.


Apakah Pemda Kabupaten Kuningan sudah membuat kajian dari sisi ekonomi, berapa perputaran ekonomi di sepanjang pertokoan Siliwangi. Berapa perputaran ekonomi dari pengusaha yang menyewa ruko, dari pedagang kaki lima, dari parkir, dari ojek dan angkutan kota, dari pengiriman serta pengantaran pesanan online dan lain-lain.


Apakah Pemda juga sudah membuat kajian dari aspek sosial kemasyarakatannya. Seperti terkait pergerakan manusia yang menggunakan dan melewati jalur pertokoan Siliwangi. Kapan pergerakan itu terjadi, kapan waktu padat dan lengangnya pergerakan, seperti apa kebiasaan masyakarat pengguna yang melewati jalan pertokoan Siliwangi, siapa mereka, tujuannya, lamanya, jalan sendiri atau berkelompok dan kebiasaan-kebiasaan lain yang secara sosial sudah terbangun bertahun-tahun.


Apakah Pemda juga sudah membuat analisa dampak yang dirasakan oleh para pedagang penyewa ruko, para pedagang kaki lima di belakang pertokoan Siliwangi. Apa yang harus dilakukan oleh para pedagang yang harus memutar modal usaha bersifat harian, seperti pedagang daging ayam, daging sapi. Mereka tidak menggunakan freezer untuk mengawetkan daging yang tidak terjual.


Aroma bau yang tercium akibat daging atau ikan yang tidak terjual sampai siang hari begitu terasa. Apa yang harus dilakukan oleh mereka. Apakah Pemda memikirkan sampai hal-hal seperti itu, yang justru itu menjadi urat nadi kehidupan pelaku usaha kecil. Hal ini perlu dicari jalan keluarnya karena kehidupan mereka hanya mengandalkan dari perputaran usaha yang bersifat harian.


Hal yang sama akan dirasakan oleh para pedagang fast moving product lainnya (produk-produk yang harus segera terjual), seperti pedagang kue basah, pedagang roti, buah-buahan dan lain-lain.


Buruknya Komunikasi Publik
Sampai di sini kita bisa melihat komunikasi publik yang dilakukan oleh Pemda sangat buruk. Pemda lebih fokus merealisasikan keinginan dan citra diri dari sebuah program dibandingkan fokus pada mencari solusi atas kebutuhan warganya.


Dan yang jauh lebih penting, apakah Pemda sudah mengajak bicara para stakeholder yang ada, baik itu pengusaha yang menyewa pertokoan Siliwangi, pedagang kaki lima, komunitas angkutan kota, komunitas ojeg, tukang parkir, warga sekitar dan lain-lain.


Bisa jadi Pemda sudah melakukan pertemuan dan pembahasan dengan pihak terkait seperti para Kepala Dinas, Satpol PP, Polres, Kejaksaan. Tetapi dengan stakeholder lain terutama pelaku usaha di sepanjang pertokoan Siliwangi belum dilakukan. Asumsi ini diperkuat dari masukan-masukan yang dari masyarakat, baik yang menyampaikan secara langsung maupun lewat medsos dan WhatsApp.


Jika Pemda Kuningan belum melakukan kajian secara komprehensif, maka tidak tepat jika eksekusi kebijakan dilakukan secara total. Eksekusi kebijakan harus dilakukan secara bertahap.


Pemda bisa membuat beberapa pengecualian terkait penutupan jalan pertokoan Siliwangi. Misalnya, beberapa kendaraan diberikan izin khusus untuk bisa memasuki dan melewati area pertokoan Siliwangi, seperti kendaraan untuk bongkar muat para pengusaha yang menyewa pertokoan Siliwangi, ojeg (online atau pangkalan) yang akan mengantar atau mengambil penumpang atau makanan, jasa pengantaran dari dan ke area pertokoan Siliwangi.


Jika pengusaha pertokoan Siliwangi tidak diberi fasilitas untuk bongkar muat, sama saja dengan mematikan usaha itu sendiri. Pemda sebaiknya memberi kekhususan kendaraan yang boleh melewati pertokoan jalan Siliwangi, seperti kendaraan khusus untuk bongkar muat produk yang akan didisplay oleh pengusaha pertokoan, kendaraan untuk tujuan jasa pengantaran ke dan dari area pertokoan Siliwangi.


Salah satu solusi untuk mengatasi keterbatasan lahan parkir dan kesemrawutan pedagang kaki lima, Pemda sudah menyiapkan lahan bekas SDN 17 dan lahan bekas Pujasera. Kedua lahan ini disiapkan sebagai Pusat Parkir dan Jajanan Kuliner yang menampung parkir kendaraan dan para pedagang kaki lima yang berjualan di sepanjang pertokoan jalan Siliwangi. 


Penulis pikir Pemda terlalu menyederhanakan persoalan. Pemindahan lahan parkir dan pedagang kaki lima yang bertahun-tahun sudah punya pasar, tidak bisa dilakukan secara mendadak dan dalam waktu singkat, tanpa sosialisasi yang cukup.


Persoalannya tidak sekedar menyediakan tempat penampungan parkir dan para pedagang kali lima. Tapi yang namanya relokasi itu sudah pasti melibatkan aspek ekonomi dan psikososial masyarakat. Seperti, kebiasaan masyarakat yang melewati, berkunjung dan berbelanja di sepanjang pertokoan Siliwangi tidak bisa hanya dinilai secara ekonomis, tapi juga melibatkan aspek psikososial masyarakat yang sudah puluhan tahun membentuk pola hidupnya.


Pemindahan sebuah komunitas masyarakat yang sudah mapan dan terbangun bertahun-tahun, harus dilakukan secara bertahap. Selain itu, perlu ada kajian komprehensif yang melihat masalah dari berbagai aspek.


Pemindahan dan upaya menciptakan pasar juga harus melibatkan stakeholder yang ada. Bukan hanya pedagang kali lima dan pengusaha yang menempati Pertokoan Siliwangi saja. Tapi melibatkan pemangku kepentingan lainnya, yaitu masyakarat pengguna.


Pemda Harus Belajar Mendengar

Di beberapa daerah, pengalaman memindahkan komunitas pedagang kali lima yang sudah berdagang puluhan tahun di satu lokasi, prosesnya cukup alot. Diperlukan waktu yang cukup panjang untuk diskusi dan rembug bersama dengan stakeholder yang ada.


Kepala Daerah dan jajaran terkaitnya akan melakukan pertemuan-pertemuan dengan para stakeholder yang ada, baik untuk diskusi, urun rembug warga, presentasi program, dan lain-lain yang tentunya akan cukup sering dan memakan waktu yang tidak sebentar.


Banyak stakeholder yang bisa dilibatkan, seperti dengan pedagang kaki lima, pengusaha pertokoan, komunitas ojek online, para tukang parkir, warga sekitar di tempat yang lama, warga sekitar di tepat yang baru, aktivis sosial dan komunitas UMKM dan lain-lain.


Semua dilakukan untuk mencari solusi yang masuk akal dan bisa diterima oleh semua pihak. Pengalaman Kepala Daerah lain menata suatu kawasan bisa menjadi pembelajaran bagi Pemda Kuningan. Pemda Kuningan harus mau menjalankan prosesnya, jangan hanya melihat hasilnya saja.


Bagaimana penataan dan relokasi pedagang kaki lima di Solo, penataan kawasan Kota Tua di Jakarta atau penataan kawasan Tanah Abang sebagai Pasar Terbesar di Asia Tenggara. Berapa lama waktu yang dibutuhkan, siapa saja stakeholder yang dilibatkan, berapa puluh kali diskusi, urun rembug, presentasi yang dilakukan, seperti apa tahapan-tahapan relokasi dan penataan dilakukan.


Terakhir, hal yang harus dicatat dan ini sangat mendasar, Pemda harus mau menjadi pendengar yang baik, bukan menjadi pejabat yang merasa tahu segala persoalan masyarakat, bahkan lebih parah lagi jika Pemda menempatkan diri sebagai pihak yang merasa paling tahu solusi atas apa yang menjadi masalah di masyarakat. Harus ada urun rembug yang melibatkan masyarakat dalam tahapan sebelum eksekusi  atas sebuah kebijakan dijalankan.


Penulis : Inisator Gerakan KITA, pelaku UMKM.

Diberdayakan oleh Blogger.