Mantan Ketua Pansus TNGC Dorong Segera Dibuat Zona Tradisional



KUNINGAN (KN),- Salah satu rekomendasi Pansus Pengelolaan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) yaitu harus dibentuk zona tradisional dalam memberikan akses kepada masyarakat untuk bisa mengambil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK).
 
Hal itu dikatakan mantan Ketua Pansus TNGC, Dede Sembada, kepada kamangkaranews.com, di ruang Fraksi PDIP DPRD Kabupaten Kuningan, Rabu (30/3/2022).
 
“Dulu Paguyuban Masyarakat Tani Hutan atau PMTH (sekarang namanya Kelompok Tani Hutan atau KTH) sebelum ada TNGC, mereka  sudah beraktivitas di Gunung Ciremai melalui PHBM Perhutani,” katanya.
 
Kemudian ada SK Menteri Kehutanan No. 424/Menhut-II/2004 tanggal 19 Oktober 2004 tentang Perubahan Fungsi Kelompok Hutan Lindung Pada Kelompok Hutan Gunung Ciremai seluas 15.500 hektar di Kabupaten Kuningan dan Majalengka, Provinsi Jawa Barat menjadi Taman Nasional.
 
Setelah ada SK tersebut muncul gejolak dari PMTH (KTH) karena tidak bisa mengambil hasil hutan di Gunung Ciremai, padahal mereka yang menanam, karena statusnya berubah menjadi Taman Nasional.
 
“Win-win solusinya ada Surat Dirjen Nomor S.56, tanggal 25 Februari 2005, Kementerian Kehutanan menjamin penggiat PHBM akan dilibatkan dalam pengelolaan Taman Nasional kolaborasi termasuk dengan Pemda dalam penataan zonasi,” katanya.
 
Selanjutnya dibuatkan zonasi, sehubungan melibatkan penggiat PHBM semestinya ada zona tradisional dalam rangka memberikan akses kepada masyarakat.
 
“Kita tidak bicara mengenai penyadapan getah pinus tapi menyangkut zonanya dulu yaitu zona tradisional,” katanya.
 
Namun ternyata penataaan zonasi pada 2012 tidak ada zona tradisional tetapi yang ada yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona religi budaya, zona khusus dan zona rehabilitasi.
 
“Sehingga masyarakat yang dulu menanam MPTS (Multy Purpose Tree Species) tidak bisa mengambil hasilnya. Padahal dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56 /Menhut-II/2006, bisa diambil di zona tradisional,” katanya.
 
Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990, pengelolaan taman nasional tidak hanya konservasi fungsi ekologinya saja, namun ada tiga fungsi yang harus dilaksanakan.
 
“Karena penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem itu pada hakekatnya bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan mutu hidup manusia,” ucapnya.
 
Sekarang ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.43 /Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2017 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Di Sekitar Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
 
Untuk teknisnya ada Peraturan Dirjen KSDAE Nomor P.6 Tahun 2018 Tentang Juknis Kemitraan Konservasi Pada KSA dan KPA.
 
Artinya masyarakat diberi akses mengambil Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan itu sudah diatur dalam Peraturan Dirjen KSDAE Nomor P.6 Tahun 2018, maka termasuk pemungutan getah atau penyadapan getah pinus.
 
“Rencana penyadapan getah pinus, seharusnya jangan dijadikan polemik karena zona tradisionalnya juga belum ada,” katanya.
 
Menurutnya, untuk menyelesaikan polemik tersebut, lebih baik diadakan uji publik, silahkan sampaikan jika ada yang keberatan tentang rencana penyadapan getah pinus.
 
Ia setuju dengan lima prinsip yang dikatakan Kepala BTGC. Pertama, regulasi atau perundang-undangan. Kedua, apakah yang mengusulkan adalah masyarakat setempat dibuktikan dengan KTP. Ketiga, keilmuan apakah dimungkinkan dilakukan penyadapan getah pinus.
 
“Keempat adalah pengalaman. Kalau di Kabupaten Kuningan kan baru wacana tetapi sudah diramaikan akan merusak lingkungan,” katanya.
 
Lihat di Taman Nasional Gunung Merapi dan Taman Nasional Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Pangrango dan Taman Nasional Gunung Kerinci sudah ada penyadapan getah pinus.
 
“Kelima yaitu prinsip kehati-hatian, kenapa dijadikan pro kontra ? kan zonasinya juga belum ada karena penyadapan getah pinus hanya boleh di zona tradisonal, makanya pansus ini mendorong agar segera dibuat zona tradisional,” katanya.
 
Pewarta : deha 
Diberdayakan oleh Blogger.