" Masyarakat adat akan selalu berhadapan dengan bisnis dan program atas nama pembangunan." Hal itu diungkapkan Nukila Evanty us...
Latar belakang narasumber, Nukila Evanty merupakan seorang aktivis hak-hak masyarakat adat yang juga menjadi bagian dari masyarakat adat di Rokan Hilir, Riau.
Rekam jejak Nukila Evanty tercatat sebagai Representasi Indonesia di UN (United Nations) Forum on Indigenous Peoples 2022 .
Ia juga seorang drafter (perancang) protokol untuk “Kesepakatan (Consent) antara Bisnis dan Masyarakat Adat“ yang baru-baru ini diserahkan ke United Nations, di New York.
Tanya (T) : Anda adalah bagian dari masyarakat adat, menurut anda mengapa masyarakat adat selalu tertinggal ?.
Jawab (J) : Masyarakat adat atau di forum internasional disebut dengan indigenous people adalah bagian dari keberagaman masyarakat Indonesia sehingga seharusnya hidup masyarakat adat termasuk tanah, hutan, sosial budaya mereka dijamin dan dilindungi konstitusi sesuai dalam Pasal 18 B Ayat 2 (dua) UUD 1945.
Sejauh yang dialami saat ini, kedudukan masyarakat adat di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami banyak kesulitan! masih banyak masyarakat adat terancam, mengalami ekstorsi (Extortion) yaitu terancam dan terintimidasi.
Terdiam karena kekhawatiran dan ketakutan, teraniaya, terusir dari tanah tempat kelahiran mereka sendiri dan kehilangan dan terampas hak-haknya atas tanahnya yang disebut sebagai tanah ulayat.
(J) : Tanah dan hutan bagi masyarakat adat adalah darah , jantung dan jiwa mereka. Jadi bayangkan ketika investor masuk dan mengambil tanah dan hutan mereka padahal telah didiami dan diperjuangkan masyarakat adat tersebut dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tanah dan hutan mereka telah beralih fungsi menjadi lahan untuk pertambangan seperti batu bara dan minyak bumi atau lahan pertanian seperti salah satunya perkebunan sawit.
Provinsi riau, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan adalah provinsi dengan luas perkebunan sawit terluas di Indonesia yaitu 3,38 juta ha atau 20,68% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 26 provinsi atau sebesar 16.38 juta hectares, seperti dilansir dari data Kepmentan (Keputusan Kementerian Pertanian No. 833/2019)
Serta banyak juga kasus-kasus yang tidak terekspose baik oleh media maupun oleh masyarakat sipil.
Beberapa contoh kasus yang pernah saya ikuti dalam kampanye dan advokasi adalah izin bagi perusahaan tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Masyarakat Lengko Lolok menolak karena jika tambang dan pabrik semen itu sampai masuk ke kampung mereka, maka tidak terhindarkan adanya relokasi kampung, termasuk nilai-nilai sosial budaya dan tradisi mereka serta alih fungsi lahan pertanian.
Dalam kajian dan kunjungan saya ke beberapa masyarakat adat, saya melihat bagaimana masyarakat adat bergulat dengan kesulitan untuk mengaktualisasikan budaya dan tradisinya sendiri, akan terhenti dengan sendirinya dan tidak bisa diteruskan kegenerasi berikutnya.
Saya pernah penelitian ke suku Akit di Desa Titi Akar, Rupat Utara, tradisi mereka membakar hutan untuk berladang sudah dilarang, padahal menurut mereka berladang padi itu adalah tradisi dan mata pencaharian utama, sehingga mengakibatkan mereka beralih menjadi nelayan.
Malah hutan yang sejatinya mereka kelola dengan bijak beralih menjadi milik perusahaan tanpa ada proses berkonsultasi dengan mereka.
Kemudian saya penelitian ke Desa Kedabu, Rokan Hulu, kepada masyarakat adat Talang Mamak Riau, tahun 2016.
Batin (kepala suku) masyarakat adat Talang Mamak, termasuk perempuan dan generasi muda di sana sudah berteriak lama kehilangan hutan, kelapa sawit ditanami kurang dari 500 meter dari bibir sungai, sungai menjadi surut bahkan mengering. Padahal air sungai adalah segalanya buat masyarakat adat Talang Mamak.
Ada ritual, kebutuhan minum sehari-hari, mandi dan sebagainya terutama bagi perempuan Talang Mamak yang merasakan langsung dampak dari kehilangan sungai dan terdegradasi lingkungan mereka. Masyarakat adat Talang Mamak akhirnya membuat sumur untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih.
Saat masyarakat masih harus berjuang menghadapi pandemi Covid-19, akses terhadap air bersih menjadi lebih penting dari sebelumnya. Masyarakat diharuskan menjaga kebersihan dan menjadi salah satu upaya melindungi diri pribadi dari Covid-19.
Misalnya menjaga higienitas tubuh, kerap mengganti baju dan mencuci pakaian setelah bepergian dan mencuci tangan dengan air bersih. Apalagi bagi perempuan di masyarakat adat, merekalah penjaga keluarga dalam arti menyediakan air bersih, mencuci, memasak dari sumber mata air dan air sungai buat keluarganya.
Saya kira pebisnis dan perusahaan apalagi perusahaan skala multinasional sudah mulai memahami prinsip-prinsip panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs).
Tiga pilar UNGPs yang dikenal bahwa bisnis itu harus melindungi, menghormati, memulihkan sehingga pebisnis atau perusahaan harus menghindari terjadi pelanggaran hak masyarakat adat dan harus memberikan ganti atas kerugian yang diderita oleh korban sebagai dampak dari kegiatan bisnis.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus lebih maksimal dalam upaya mendorong perusahaan dan pebisnis untuk melakukan upaya menginternalisasi aturan mereka agar lebih patuh untuk penghormatan hak-hak masyarakat adat, tak sekedar hanya mengeluarkan CSR (Corporate Social Responsibility) semua hal akan teratasi dengan baik.
Namun perlu upaya yang lebih intens untuk mengadakan riset awal ke daerah tempat perusahaan beroperasi, apa saja budaya sosialnya, lakukan pendekatan dengan berdialog dan komunikasi, konsultasi dengan lebih efisien dan menjelaskan tanggung jawab pebisnis, manfaat bisnis tersebut buat masyarakat secara transparan.
Saya harap juga di Forum G20 dan B20 di Bali dan Konferensi Perubahan Iklim di Mesir, isu keterhubungan antara bisnis dengan perubahan iklim, lingkungan dan hak asasi manusia harusnya didiskusikan dan penting. (*)